top of page

Parade Tatung, Parade Kerasukan (Cap Go Meh - Tahun Lunar Monyet 2567 - 2016 Masehi, Singkawang - Ka


Cap Go Meh adalah perayaan hari ke-15, perayaan hari terakhir dari rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia, termasuk bagi mereka di Indonesia, khususnya bagi komunitas Tionghoa di Singkawang yang telah tersohor dengan perayaan Cap Go Meh mereka ke seluruh dunia.

Tepat pada tanggal 23 Februari 2016, sebanyak 400 Tatung dengan 200 tandu telah meramaikan perayaan Cap Go Meh Tahun Lunar Monyet 2567 di Singkawang, Kalimantan Barat. Mereka laki-laki dewasa, anak-anak bahkan perempuan telah berpartisipasi dalam perayaan ini sebagai Tatung utusan dari berbagai klenteng yang tersebar di pelosok Kota Singkawang, Sambas, Pemangkat, serta kota-kota dan desa-desa sekitarnya. Rombongan besar parade Cap Go Meh ini bersiap-siap memulai pergerakan parade dari Jl. Kalimantan, Kota Singkawang pada pagi hari untuk kemudian mengitari beberapa ruas jalan yang pada akhirnya melintasi jalanan yang diapit 2 panggung kehotmatan yang telah dipersiapkan untuk tamu kehormatan dari unsur pemerintah pusat dan daerah, dan beberapa undangan kehormatan lainnya dari unsur sosial, budaya, ekonomi bahkan selebritis terkenal.

Sehari sebelum pelaksanaan Parade Cap Go Meh, juga telah dilaksanakan Upacara Bersih Jalan. Upacara ini dimaksudkan adalah untuk memastikan tidak ada “aral melintang” yang terjadi pada saat perayaan Cap Go Meh dilangsungkan esok harinya. Tidak kurang meriahnya dengan Cap Go Meh, Upacara Bersih Jalan ini juga diramaikan dengan kemunculan para Tatung utusan dari berbagai klenteng yang mendatangi 2 vihara tertua di Singkawang, Vihara Tri Dharma Bumi Raya dan Vihara Budi Dharma di pusat kota. Kedatangan para Tatung tersebut ke 2 vihara tertua di Singkawang tersebut sebagai ungkapan “sowan”, memohon ijin dan restu agar dapat melaksanakan Cap Go Meh esok harinya dengan baik dan selamat.

Selama berlangsungnya Upacara Bersih Jalan ini, silih berganti para Tatung utusan dari berbagai klenteng mendatangi Vihara Tri Dharma Bumi Raya dan Vihara Budi Dharma di pusat Kota Singkawang, baik dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan truk. Mereka akan menuju bagian dalam vihara untuk melakukan ritual penyembahan kepada patung dewa-dewa yang telah ditempatkan di situ atau kepada patung dewa-dewa yang berada di ruangan bagian luar vihara. Di saat penyembahan kepada dewa-dewa itu lah para Tatung tersebut bergerak dan berekspresi dalam ritual mereka. Pada saat itu pula para Tatung melakukan "pelemparan" Sin Kaw atau Sin Fui, yaitu sebuah cara untuk memanggil roh leluhur yang akan merasuk ke dalam raganya.

Pelemparan Sin Kaw atau Sin Fui dilakukan oleh para Tatung dengan menggunakan media, yaitu pasangan uang koin atau kepingan kayu yang telah dibentuk sedemikian rupa. Pasangan uang koin atau kayu bentukan tersebut dilempar ke lantai atau tanah di hadapan patung dewa yang meraka harapkan merasuki raga mereka. Jumlah pasangan Sin Kaw atau Sin Fui yang dilemparkan oleh para Tatung mengindikasikan jumlah roh yang diinginkan merasuki raga, satu roh bagi setiap Tatung . Akan ada tiga kemungkinan tanda yang dihasilkan dari lemparan media tersebut, yaitu Jim Cung dimana 2 media jatuh dalam posisi tertutup, Siau Cung dimana 2 media jatuh dalam posisi terbuka, dan Sin Kaw dimana 2 media jatuh dalam posisi satu terbuka satu tertutup sebagai tanda permohonan sudah disetujui. Para Tatung akan melakukan pelemparan Sin Kaw atau Sin Fui dengan melemparkan media berulang-ulang hingga mendapatkan posisi media Sin Kaw. Sekiranya sudah mendapatkan posisi media Sin Kaw, raga merekat segera dirasuki dan mereka di saat itu juga memperlihatkan ekspresi dan melakukan gerakan-gerakan yang tidak bisa diterima oleh akal normal. Berbagai ekspresi oleh para Tatung tersebuat adalah seperti mabuk terhuyung-huyung, tertawa lucu seperti anak kecil, gagah bagaikan sedang memimpin peperangan dan lain sebagainya. Ekspresi-ekspresi tersebut akan bergabung dengan tindakan ekstrim mereka seperti menusuk bagian tubuh dengan dengan senjata berujung runcing atau mengiris lengan dan lidah mereka dengan senjata tajam atau menidurkan bagian tubuh mereka di atas ujung runcing dan bagian tajam senjata dan benda tajam lainnya yang dipasng di tandu mereka. Adalah sebuah pertunjukan kerasukan dan kekebalan yang tidak bisa serta-merta diterima logika.

Keesokan harinya setelah Upacara Bersih Jalan yaitu di saat Cap Go Meh sebagai puncak rangkaian kegiatan, parade ekspresi kerasukan dan pertunjukan kekebalan para Tatung akan semakin menjadi-jadi sepanjang saat persiapan atau perjalanan arak-arakan mereka melewati ruas jalan-jalan kota dan panggung kehormatan yang telah disediakan. Ekspresi kerasukan tersebut akan semakin tidak bisa diterima dengan akal sehat tatkala melihat para Tatung merias wajah mereka dengan cara menusukan benda-benda tajam melalui mulut dan keluar di permukaan pipi mereka atau menggantungkan benda-benda berbeban berat dengan pengait tertanam di permukaan wajah mereka. Parade ini semakin terasa merasuki panca indera dengan tebalnya asap dupa dan hio yang di bakar oleh setiap rombongan utusan Tatung dari berbagai klenteng di Kota Singkawang dan sekitar.

Diantara sergapan bubung asap dupa dan hio tersebut terlihat di salah satu rombongan pengusung tandu Tatung beberapa orang berjongkok sambil memegang ujung-ujung kain yang menyelubungi sebuah keranjang yang diurapi dengan asap dupa yang dibakar di dalam sebuah wadah di atas jalan. Tidak lama setelah itu terlihat keranjang sayur yang diberi baju tersebut bergerak liar dan menguras kekuatan para pemegang yang berusaha agar keranjang tersebut tidak terlepas. Adalah Choi Lam Sin atau Jailangkung versi Tionghoa yang juga dilibatkan di dalam parade Tatung pada perayaan Cap Go Meh - Singkawang 2016 tersebut.

Choi Lam Sin, Keranjang Sayur yang Dirasuki, menurut Bapak Marsuki, yang berasal dari Yogjakarta, seorang pengamat budaya dan sosial yang berdomisili dan juga aktif dalam meliput kegiatan ras dan budaya di Singkawang, diduga berhubungan dengan sebuah kepercayaan tradisional Tionghoa. Kepercayaan tersebut adalah tentang adanya kekuatan dewa Poyang dan Moyang yaitu Cay Lan Gong (Dewa Keranjang) dan Cay Lan Tse yang dipercaya sebagai dewa pelindung anak-anak. Di saat hari-hari biasa di luar perayaan permainan Can Lan Gong ini dilakukan oleh anak-anak remaja di bawah bulan purnama. Ritual ini identik dengan permainan serupa yang dilakukan di daratan Jawa yaitu Jailangkung yang disebut Nini Thowong atau Nini Thowok. Tidak hanya sebagai sebuah permainan, ritual Jailangkung versi Tionghoa dan Jawa juga dilakukan

oleh para dewasa yang dipercaya sebagai usaha menjaga keselamatan desa dan menolak bala. Demikian lah mengapa terlihat keterlibatan Choi Lam Sin, Jailangkung versi Tionghoa, di dalam arak-arakan Cap Go Meh di Singkawang.

Bila ditelusuri lebih jauh ke belakang, upaya menjaga keselamatan dan menolak bala di Singkawang erat kaitannya dengan sejarah kota itu sendiri.

Nama Singkawang berasal dari San Khew Jong (Gunung Mulut Laut) yang berarti daerah yang terletak di antara gunung dan laut, sebagai salah satu tempat tinggal terbesar etnis Tionghoa di Indonesia. Di masa lalu Singkawang merupakan tempat persinggahan orang-orang Tionghoa, khususnya mereka dari suku bahasa berlogat Khek atau Hakka yang bermigrasi dari bagian selatan daratan besar Tiongkok menuju Kalimantan Barat, sekitar 400 tahun silam. Migrasi oleh suku berlogat Khek ini adalah dalam rangka melakukan penambangan emas Monterado di Kabupaten Bengkayang sekarang, yang mana pada saat itu berada di bawah kepemilikan Kesultanan Melayu Sambas. Begitu juga dengan Singkawang, area yang menjadi Kota Singkawang sekarang ini disepakati oleh Kesultanan Sambas dan kongsi-kongsi usaha pertambangan suku Khek sebagai daerah persinggahan. Maka dibuka lah area yang pada awalnya itu berupa hutan belantara.

Menurut kepercayaan Tionghoa, setiap hutan memiliki roh penjaga yang melindungi daerah tersebut. Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang saat sekarang berdiri tepat di jantung kota Singkawang didirikan pada awalnya hanya sebagai pondok sederhana, dipercayai sebagai tempat berdiamnya Dewa Bumi Raya, sebagai Dewa Penjaga Kota Singkawang. Baru pada tahun 1920 vihara sederhana ini dibangun lebih permanen dan sempat mengalami kebakaran di tahun 1930. Tiga tahun kemudian vihara ini dibangun kembali dengan kokoh hingga saat ini dan penduduk kota menempatkan Patung Tua Peh Kong dan istrinya yang selamat dari kebakaran di dalam vihara ini. Di kiri dan kanan Patung Tua Peh Kong dan istrinya ditempatkan Patung Dewa Kok Sing Bong dan On Chi Siu Bong. Sementara di tengahnya terdapat Patung Buddha Gautama.

Saat sekarang, Singkawang bukan lah lagi sebagai “pecinan” yang hanya dihuni oleh bangsa Tionghoa saja melainkan sudah mengalami pembauran dengan etnis Melayu, dengan suku bangsa dimana mereka pernah melakukan sebuah traktat ekonomi di masa lalu. Bahkan Singkawang pun saat ini sudah berkembang menjadi daerah perantauan bagi mereka dari daratan Madura, Bugis, Makasar, layaknya seperti perkembangan kekinian di daerah pesisir di seluruh bumi Nusantara ini. Tetapi, sebuah akulturasi budaya yang menonjol di kekinian Singkawang adalah meleburnya unsur-unsur budaya suku Dayak dalam tradisi Tionghoa Khek.

Sebenarnya interaksi budaya Tionghoa Khek dengan Dayak sudah terjadi di awal-awal pembukaan hutan belantara di Singkawang dan Bengkayang. Ini lah yang juga tergambar selama berlangsungya perayaan Cap Go Meh di Singkawang. Selain para Tatung dengan riasan dan aksesoris Tionghoa, juga terlihat para Tatung yang menonjol dengan unsur dan kostum upacara Dayak pada perayaan Cap Go Meh di Singkawang. Percampuran penampilan para Tatung ini lah yang menjadi pembeda perayaan Cap Go Meh di Singkawang dengan perayaan-perayaan serupa di Jakarta, Bogor, Semarang, Menado, bahkan Pilipina dan Thailand.

Di saat kejanggalan ini terlihat, “mengapa di saat Cap Go Meh yang sudah nyata-nyata adalah tradisi budaya Tionghoa, terdapat unsur-unsur budaya Dayak yang juga tidak kalah menonjol selama perayaan berlangsung?”, rujukan dan keterangan untuk menjawab pertanyaan dan kepedulian ini tidak bisa ditunda lagi harus terpenuhi.

Adalah Bapak Welly Brodus, seseorang yang memiliki trah Dayak Selako strata ke-7, kedudukan tertinggi dalam kasta Dayak, yang berdomisili di Singkawang dan juga sebagai seorang pengamat dan sering terlibat langsung sebagai panitia dan peliput kegiatan sosial dan budaya di Singkawang, yang memberikan keterangan, sbb:

“Akulturasi budaya Tionghoa dan Dayak ini berkaitan dengan latar belakang kejadian dimana pada saat Tambang Emas Monterado di Bengkayang dibuka dan hutan-hutan dibabat oleh kaum Tionghoa Khek tanpa meminta ijin terlebih dahulu kepada roh penghuni hutan dan serta-merta wabah penyakit menyebar di antara kelompok penambang emas. Hingga pada suatu ketika seseorang dirasuki, atau disebut menjadi Tatung, oleh roh leluhur Dayak yang mereka sebut Datuk, Datuk Hitam atau Pang Latok Sin, dan menjadi perantara dalam mengobati wabah penyakit yang sedang berjangkit."

Terakhir, apa pun itu, Singkawang adalah bagian dari Nusantara dan Indonesia ini yang menggambarkan keberagaman dan percampuran antar bangsa dalam aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Bhinneka Tunggal Ika terlihat nyata di Singkawang. Di Singkawang lah sebuah perayaan Cap Go Meh yang berakar kuat kepada tradisi budaya Tionghoa dilaksanakan tanpa melupakan asal-muasal dan latar belakang sejarah oleh kaum Tionghoa. Benar atau salah bila dipandang dari satu atau lebih sudut persepsi norma dan nilai agama, etika dan estetika, bukan lah perihal yang menjadi pembahasan utama di tulisan sederhana ini. Tapi, dengan segala hal yang dapat diamati dan dipahami dari perayaan Cap Go Meh di Singkawang, dapat terwujud suatu kebijaksanaan dari pembaca yang budiman. Diharapkan dengan kebijaksanaan dari setiap orang tersebut bisa menuju kepada suatu perwujudan kedamaian di Bumi Nusantara ini, dan juga Singkawang tentu saja. Damai yang memberi peluang kepada proses pembangunan dalam semua aspek kehidupan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Recent Posts
Archive
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page