top of page

Kasepuhan Adat Citorek, Banten (Yang Hampir Terlewatkan), Agustus 09, 2021

Melewati jalur Cipanas, Jasinga menuju Warung Banten adalah jalur yang harus ditempuh untuk mengejar suasana “negeri di atas awan”-nya Gunung Luhur yang sudah lama “piral”. Hanya saja, sebelum mencapai negeri “piral” tersebut Kasepuhan Adat Citorek harus lah dilewati.


Dorongan perut lapar setelah berjalan dini hari sebelum subuh tentu saja membuat mata mencari-cari penjual sarapan pagi yang memang lazim adanya seperti di kampung-kampung lain di tanah Sunda atau Banten.

“Punten Ibu, ada yang ngejual nasi kah buat sarapan?”

“Gak ada yang jual nasi di sini, Jang!”

Sebuah jawaban biasa yang belum membuat saya terperangah untuk selanjutnya.


Dengan plengak-plongok melalui Kasepuhan Adat Citorek, Kec. Cibeber, Kab. Lebak, Prov, Banten, saya masih belum juga menemukan penjual nasi sarapan pagi, melainkan banyak sekali padi yang dibiarkan di tangkainya, dikumpulkan menjadi ikat-ikatan (gegeus), yang mana ikatan-ikatan tersebut dijejerkan pada tiang-tiang, baik di pinggir jalan, di depan rumah, di tengah ladang, bahkan di lapangan, tanpa ada penjagaan dan memberi kesan bahwa tidak akan ada seorang pun yang akan mencuri atau membawa pergi padi-padi jemuran tersebut kalau memang bukan hak miliknya. Sebuah nilai keluhuran mulai saya pahami telah berlaku atau masih sedang berlaku di Kasepuhan Adat Citorek.




Setelah padi-padi tersebut kering dijemur akan dimasukan ke dalam lumbung (leuit) yang banyak berjejer di tepi jalan, di dekat-dekat rumah atau juga di dekat lahan persawahan.




Tidak banyak warga Kasepuhan Adat Citorek yang mengandalkan pendapatannya dengan menjual beras dari hasil persawahan mereka. Itupun bila terdesak mereka akan mengambil beberapa gegeus, membawanya ke penggilingan padi, dan menjual berasnya ke pasar-pasar di luar dari Kasepuhan Adat Citorek.


Beras yang dihasilkan dari jenis padi kewal yang ditanam di Kasepuhan Adat Citorek adalah beras yang mana nasinya akan pulen, nasi yang cepat mengenyangkan. Jenis padi kewal ini dipanen hanya 1 kali setiap 6 bulan. Dan selanjutnya beberapi hari setelah panen raya tersebut akan diadakan seren tahun, yaitu upacara adat sebagai ungkapan rasa syukur. Semoga ada rezeki umur, kesehatan dan kemampuan bagi saya untuk menghadiri peringatan seren tahun tersebut, baik di Kasepuhan Adat Citorek, Kasepuhan Adat Cipta Gelar, Kasepuhan Adat Sinar Resmi atau pun di Kasepuhan Adat Urug, yang “katanya” upacara seren tahun ini sudah mengalami perubahan sesuai zaman dibandingkan dengan tata-aturan yang berlaku di masa-masa sebelumnya. BIla menyinggung perubahan dan perkembangan upacara adat tersebut tentu saja harus menelusuri bukti dan fakta bahkan catatan-catatan semenjak era kepemimpinan Prabu Siliwangi, masuknya nilai-nilai Islam, hingga zaman “dangdut” kekinian.



Bapak Sapri dengan keluarga besar Beliau, disertai beberapa orang lainnya yang sebelumnya saya kira masih anggota keluarga Beliau, saya dapatkan sedang menuai padi di sawah mereka. Beberapa “orang lainnya” tersebut berasal dari warga Kasepuhan Adat Citorek sendiri bahkan juga warga-warga dari luar kasepuhan.



“Apakah akan cukup hasil panen ini hingga panen berikutnya bagi Bapak dan Keluarga?” Sebuah pertanyaan dari sisi pandang ekonomis terlontar dari mulut saya.

“Insha Allah, setahun bahkan tiga tahun berikutnya hasil panen ini tidak akan kurang bagi kami”. Begitu lah jawaban Beliau.





Memang, warga-warga lain yang ikut membantu menuai dalam panen padi di Kasepuhan Adat Citorek akan diberi bagian 1 dari 6 gegeus yang meraka dapatkan. Sebuah “keluhuran” terlihat, warga di Kasepuhan Adat Citorek tidak memiliki prasangka ketakutan akan menjadi lapar dan berkekurangan dengan hasil yang mereka dapatkan.







Makna “luhur” adalah olah rasa dan karsa yang ditetapkan oleh para leluhur. Selayaknya keluhuran tersebut juga seiring sejalan dengan keharusan yang telah ditentukan di dalam ajaran-ajaran keimanan beragama dan norma-norma sosial masyarakat yang sepantasnya. Sebuah tantangan, apakah Kasepuhan Adat Citorek akan tetap berada di “jati-dirinya” atau benar-benar akan terlewatkan dilindas “roda gila zaman”?



Recent Posts
Archive
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page