top of page

Rumah Gadang Kaum Datuak Bandaro Kuniang, (Limau Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat)

Penulis berasumsi, tidak banyak yang benar-benar tahu dan memahami tentang fungsi, bentuk arsitektur, interior dan eksterior, pola ukiran dari rumah gadang - rumah gadang yang terdapat dan menjadi salah satu simbol “keminang-kabauan” masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Rumah Gadang Basa Pagaruyuang yang selama ini telah terlanjur terkenal dan menjadi “obat mata keindahan” bagi masyarakat awam lokal Sumatera Barat, nasional dan internasional belum lah tentu dapat mewakili dan menjadi rujukan. Entah karena kedangkalan pengetahuan Penulis atau karena sumber-sumber pembelajaran tentang rumah gadang yang memang terbatas hanya pada kalangan tertentu atau karena rumah gadang hanya dibahas pada kalangan akademisi yang berorientasi kepada “ilmu tinggi” sehingga Penulis yang mewakili masyarakat awam merasa terabaikan. Dengan tulisan “dangkal” ini Penulis mengajukan protes, entah kepada siapa, sehingga materi mendalam tentang rumah gadang masyarakat kesukuan Minangkabau ini bisa terwujud dan menjadi bahan bagi kaum awam dan dapat mengokohkan pemahaman.

“Kuburan urang mati di tangah padang, kuburan urang hiduik di rumah gadang”

(Orang yang sudah mati dikuburkan di tengah padang, orang yang masih hidup dikuburkan di rumah gadang)

Adalah sebuah pepatah Minangkabau yang menggambarkan tentang fungsi sebuah rumah gadang yang ditafsirkan secara luas oleh masyarakat kesukuan Minangkabau. Penafsiran dangkal Penulis tentang pepatah tersebut berhubungan dengan fungsi rumah gadang sebagai “bangunan fisik” yang menyatukan suatu kaum kerabat Minangkabau, sekaligus sebagai “bangunan fisik” yang menghubungkan “datuak” dengan “anak-kemanakan”.

Mengeja-wantahkan rasa keingin-tahuan tersebut, Penulis mencoba mengunjungi dan mengabadikan bagian luar dari Rumah Gadang Kaum Datuak Bandaro Kuniang, Limau Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Sebagai sebuah "rumah gadang kaum” Penulis dapat mengamati kesakralan komplek rumah gadang ini yang terlihat bersih dengan kesan bangunan kayu tua yang ukirannya mulai terlihat memudar. Komplek rumah gadang ini pun masih dikelilingi dengan tumpukan batu-batuan yang masih tersusun rapi. Dari arsitekturnya Penulis pun menduga-duga rumah gadang ini mengikuti pakem lareh Koto-Piliang, salah satu kelarasan selain Kelarasan Bodhi-Chaniago dan Kelarasan Nan Panjang, tiga kelarasan yang berlaku di masyarakat kesukuan Minangkabau. Tetapi yang membuat Penulis heran dengan rumah gadang ini adalah penempatan dua “rangkiang”, lumbung padi, yang ditempatkan persis di depan beranda yang mana beranda dari rumah gadang ini berada di tengah-tengah dari bagian depan rumah gadang. Selain itu, Penulis masih dapat melihat sebuah lesung batu yang kesannya terabaikan di dekat barisan tumpukan batu perimeter komplek rumah gadang. Penulis juga masih dapat melihat kerangka “pedati”, sebuah alat angkut dan transportasi tradisional masyarakat Minangkabau, terletak di sebelah kiri bangunan utama di bawah sebuah pendapa dengan ornamen “tabuah" yang masih terjaga dengan baik. Penulis hanya dapat melihat dari jauh bangunan di bagian belakang dari komplek rumah gadang ini yang mana kondisinya masih bersih dan terawat.

Sebuah ketakjuban bagi Penulis bagaimana komplek rumah gadang ini masih dapat terawat dengan baik. Di lain sisi Penulis juga menyadari bahwa untuk me-renovasi komplek rumah gadang ini pasti memerlukan biaya yang sangat besar. Entah sampai kapan rumah gadang ini dapat bertahan.

Sesaat setelah itu, Penulis mendapatkan informasi bahwa komplek rumah gadang ini pernah menjadi lokasi pengambilan adegan bagi film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Ironis memang, film tersebut dapat meraih kesuksesan sementara rumah gadang ini tetap hanya sebagai saksi mosaik-mosaik perubahan zaman.


Recent Posts
Archive
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page