top of page

"Upaya Pelestarian Budaya" (Festival Budaya Lembah Baliem XXVI - 2016 - Wamena, Papua)

Festival Budaya Lembah Baliem XXVI - 2016 - Wamena, Papua telah terlaksana pada 6 - 8 Agustus 2015 lalu yang diikuti oleh 11 kecamatan yang tercakup di dalam Kabupaten Jayawijaya di Kampung Wosiala, Desa Wosilimo, Distrik Kurulu.

Terlepas dari kesempurnaan atau ketidak-sempurnaan pelaksanaan kegiatan, jelas terlihat dan terasa bahwa telah ada upaya yang sungguh-sungguh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Jayawijaya dan Papua untuk melestarikan budaya suku masyarakat Dani di tengah-tengah landaan zaman. Paling tidak dengan kegiatan festival budaya ini anggota masyarakat suku Dani tidak serta merta tercerabut dari akarnya.

Selama kegiatan Festival Budaya Lembah Baliem XXVI - 2015, seperti di tahun-tahun sebelumnya, kegiatan festival diisi dengan acara; perang-perangan dengan latar belakang klasik disebabkan konflik penguasaan akan teritorial perburuan, perladangan, percintaan dan perempuan; pagelaran tari kesukuan; perlombaan pacu babi; dan kontes memainkan Pikon, alat musik tradisional suku Dani.

Selama kegiatan festival budaya berlangsung, pelaku festival dari setiap kecamatan tampil dalam pakaian, asesoris, peralatan dan ekspresi asli, sungguh-sungguh dan menghayati.

Untuk seni tari, masayarakat suku Dani pun menerapkan pola formasi lantai, vertikal, horizontal ataupun diagonal sebagaimana pakem yang dianut oleh seni tari dari berbagai belahan Nusantara.

Pikon sebenarnya berasal dari kata Pikonane, dan dalam bahasa Baliem berarti alat musik bunyi. Pikon merupakan alat musik tradisional khas suku Dani yang biasa dimainkan oleh kaum pria. Biasanya mereka memainkan alat ini sambil beristirahat setelah lelah bekerja seharian atau ketika bersantai di honai. Suara yang dihasilkan oleh Pikon sebenarnya tidaklah merdu, malahan cenderung sumbang. Hal ini wajar karena pada awalnya, Pikon dibuat hanya sebagai penghilang penat sehingga suara yang dihasilkan pun lebih mirip suara kicau burung yang tak bernada. Namun demikian, seiring berkembangnya jaman, kini suara yang dihasilkan oleh Pikon mulai dapat terdengar sebagai nada do, mi dan sol.

Pikon adalah alat musik yang cukup spesifik. Tidak sembarang orang dapat memainkan alat ini karena cara memainkannya yang cukup rumit. Namun, kerumitannya inilah yang membuat Pikon menjadi otentik dan istimewa.

Tentang asal usul, suku Dani termasuk dalam rumpun Papua Melanosoide yang merupakan Ras Negroid yang memiliki ciri-ciri antara lain: kulit kehitam-hitaman, badan kekar, rambut keriting, mulut lebar dan hidung mancung, yang bermukim di Pegunungan Tengah, Papua, Indonesia dan mendiami keseluruhan Kabupaten Jayawijaya serta sebagian kabupaten Puncak Jaya. Ada pengakuan yang dibanggakan oleh masyarakat suku Dani bahwa seluruh suku-suku pegunungan yang tersebar di seluruh tanah Papua adalah dulunya berasal dari Lembah Baliem, berasal dari suku Dani, tersebar dan terpecah dikarenakan berbagai macam latar belakang kejadian.

Perihal yang menonjol selama kegiatan festival budaya adalah keterlibatan banyak generasi muda dari setiap kecamatan peserta. Mereka pun ikut melakukan perang-perangan dan pagelaran tari-tarian lengkap dengan pakaian, riasan dan asesoris.

Sebagaimana saudara-saudara serumpun mereka di dataran tinggi Papua lainnya, masyarakat suku Dani mengekspresikan seni mereka dengan merias badan dan wajah mereka dengan pola dekorasi tertentu, selain menggunakan asesoris perang atau keseharian lainnya.

Lemak babi dan arang adalah bagian dari media untuk merias tubuh dan wajah yang digunakan masyarakat suku Dani. Akhir-akhir ini penggunaan lemak babi sudah mulai jarang dilakukan, tergantikan lemak minyak biasa. Selain lemak binatang yang digunakan sebagai sarana dekorasi wajah dan badan, anggota suku Dani pun menggunakan tanah liat untuk mengungkapkan rasa seni mereka. Dan “katanya”, pola "tutul-tutul” pada riasan dan wajah mereka adalah pola asli yang digunakan oleh suku-suku pegunungan Papua. Akhir-akhir ini, pola dekorasi riasan tubuh dan wajah yang digunakan mengalami perubahan atau perkembangan yang signifikan.

Selain itu, selama festival budaya berlangsung, masyarakat suku Dani juga mengedepankan Noken.

Noken yaitu tas tradisional masyarakat Papua yang dibawa dengan menggantungkannya di kepala dan terbuat dari serat kulit kayu. Serupa dengan fungsi tas pada umumnya, Noken digunakan untuk membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari. Karena keunikannya yang dibawa dengan menggantungkannya di kepala, Noken didaftarkan ke UNESCO sebagai salah satu hasil karya tradisional dan warisan kebudayaan dunia pada 4 desember 2012 lalu. Noken khas masyarakat Papua pun ditetapkan sebagai "Warisan Kebudayaan Tak Benda" UNESCO. Diharapkan pengakuan oleh UNESCO ini akan mendorong upaya melindungi dan mengembangkan warisan budaya Noken, yang dimiliki oleh lebih dari 250 suku bangsa di Provinsi Papua dan Papua Barat,”

Tas tradisional Noken ini sendiri memiliki simbol kehidupan yang baik, perdamaian, dan kesuburan bagi masyarakat di tanah Papua terutama kebanyakan di daerah Pegunungan Tengah Papua seperti suku Mee/Ekari, Damal, Suku Yali, Dani, Suku Lani dan Bauzi. Dahulunya, membuat Noken adalah untuk melambangkan kedewasaan si perempuan itu. Karena jika perempuan Papua belum bisa membuat Noken dia tidak bisa dianggap dewasa dan itu merupakan syarat untuk menikah.

Masyarakat Papua biasanya menggunakan Noken untuk bermacam kegiatan, Noken yang berukuran besar dipakai untuk membawa barang seperti kayu bakar, tanaman hasil panen, barang-barang belanjaan, atau bahkan digunakan untuk menggendong anak. Sedangkan yang berukuran kecil digunakan untuk membawa barang-barang pribadi. Noken juga difungsikan sebagai hadiah kenang-kenangan untuk tamu dan dipakai dalam upacara. Orang-orang Papua biasa membawa noken dengan cara yang unik, yaitu menggantungkan talinya di kepala dan membiarkan tas menggantung di punggung mereka. Untuk membawa lebih dari satu Noken, mereka menggantungkannya secara bersusun, mulai yang terbesar hingga terkecil.

Membuat Noken cukup rumit karena tidak menggunakan mesin. Metode pembuatan Noken berbeda-beda di masing-masing komunitas, namun secara umum, biasanya Noken terbuat dari kulit kayu Manduam, Nawa, Anggrek Hutan, atau Genemo. Kayu tersebut diolah, dikeringkan dan kemudian dipintal menjadi benang. Variasi warna pada Noken dibuat dari pewarna alami. Proses pembuatannya bisa mencapai 1-2 minggu, dan untuk Noken dengan ukuran besar bisa mencapai 3 minggu.

Di tempat yang berbeda di Papua, Noken juga sering punya sebutan yang berbeda. Di daerah Paniai misalnya, Noken disebut Agiya, di daerah Sentani disebut Holoboi. Ada juga Noken besar yang hanya dipakai oleh kaum bangsawan, yang disebut Wesanggen. Ada sekitar 250 suku di Papua, masing-masing mempunyai kekhasan untuk Noken mereka. Yang pasti, Noken melambangkan kesuburan, persatuan, kesatuan, dan kedamaian rakyat Papua.

Selain Noken, anggota masyarakat perempuan suku Dani menggunkan Sali dan Yokal yang menutup bagian pinggang mereka. Yokal dan Sali pun dibuat dengan bahan dan proses yang serupa dengan Noken. Dan selama pelaksanaan festival budaya berlangsung, terlihat sebuah kecenderungan bahwa Noken yang selama ini menjadi pengganti tas dan tersampir ke bagian pugung, seiring perubahan waktu, digunakan untuk menutupi bagian depan dari tubuh wanita-wanita Dani.

Babi Ternak juga perihal penting bagi anggota masyarakat suku Dani sehingga di dalam kegiatan festival ini dilangsungkan lomba Pacu Babi sebagaimana lomba-lomba pacuan binatang lainnya di belahan bumi Nusantara. Tapi sikap dan prilaku anggota masyarakat suku Dani terhadap babi piaraan mereka lah yang menonjol dalam hal ini. Bagaimana mereka memperlakukan seekor babi terkadang sama atau melebihi perlakuan mereka terhadap anak-anak mereka. Memang, babi bagi anggota masayarakat suku Dani adalah sangat berharga sebagai simbol status dan kekayaan, yang digunakan dalam upacara-upacara, alat pembayar, mahar perkawinan, dan untuk kegunaan-kegunaan ekonomi, sosial, budaya lainnya.

Dari berbagai kecamatan utusan peserta kegiatan festival budaya, juga terlihat satu rombongan yang identik dengan asesoris berwarna merah. Mereka adalah anggota masyarakat suku Lani, salah satu sub-suku Dani, yang memiliki teritorial berjarak jauh dari Kota Wamena. Serupa dengan suku Dani, mereka juga menggunakan Koteka bagi kaum laki-lakinya tetapi dengan ukuran yang lebih besar, dan kaum perempuannya pun masih belum merasa bersalah dengan bertelanjang dada, tidak seperti saudari-saudari mereka yang lebih dekat ke perkotaan.

Akhirnya, tulisan ini adalah semata-mata untuk memperkenalkan Papua, khususnya suku Dani dalam bentuk foto kepada khalayak umum, sehingga terbentuk saling pengertian dan pemahaman. Tulisan ini bukan lah sebagai ensklopedi yang bisa menjawab semua pertanyaan melainkan hanya sebagai cara “penulis” berbagi dari apa yang penulis lihat dan alami kepada pembaca yang budiman, terutama bagi pembaca yang akan berencana untuk datang dan melihat langsung Festival Budaya Lembah Baliem di tahun-tahun yang akan datang, sebagai rujukan dan panduan.

Salam…….


Recent Posts
Archive
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page