top of page

Batang Ombilin

“Kemana saja elu selama ini Simon?!?!?!”

Sebuah pertanyaan bercampur sanggahan itu lah yang saya dapatkan dari seorang kolega yang masih aktif dalam bidang eksplorasi di saat saya mencoba memaparkan tentang “Batang Ombilin” kepada Beliau.

Aliran Batang Ombilin dipandang dari ketinggian Somek

Salah satu tepian Batang Ombilin di Somek

Berkesempatan dapat mengunjungi kampung halaman yang membesarkan saya satu kali setiap 2 bulan sebagai bagian hari cuti kerja, di tepian danau Singkarak sisi sebelah utara, di Sumatera Barat, dan beberapa kali mencoba berjalan mengilir-ngilir mengamati Batang Ombilin, batang sungai yang mengalirkan air danau Singkarak ke pesisir timur Sumatera, kesemuanya membangkitkan kenangan usia kecil saya bersama Almarhum Ayahanda.

“Itu Kincir Air. Mereka menaikan air sungai dengan kincir air untuk dialirkan ke sawah”.

Kincir Air lah yang pertama teringat oleh saya menjadi obrolan kami di kala itu.

Sebuah Kincir Air tradisional di Somek

Sebuah Kincir Air tradisional di Somek

Sebuah Kincir Air tradisional di perbatasan Padang Data dengan Boduih

Seorang Albert Rahman Putra dengan tulisannya di “ kumassa.org.id" pun pernah menyinggung tentang Batang Ombilin ini dengan sangat berkesan. Dia di dalam tulisannya tersebut mengurutkan bagaimana Padangsche Bovenlanden, (Dataran Tinggi Padang - Pedalaman Minangkabau), kembali diserahkan kepada Belanda setelah masa interregnum antara Inggris (Sir. Thomas Stamford Raffles) dan Belanda berakhir (1795 - 1819). Dimulai di saat itu lah (1821) Belanda mulai kembali menjajaki pengamatan dan penjajakan yang telah sempat dilakukan Sir. Thomas Stamford Raffles, mulai dari pemintasan jalan dari Padang pesisir memintas Bukit Barisan menuju Solok Salayo, ke Saniang Baka di tepian Danau Singkarak di sisi selatan, menyeberangi Danau Singkarak dengan kapal-kapal besar hingga berlabuh di hulu Batang Ombilin di Simawang, termasuk dengan dugaan Mutiara Hitam (Batu Bara) di Batang Ombilin tersebut.

Foto hulu Batang Ombilin, koleksi TROPENMUSEUM, Belanda, diperkirakan berasal dari kisaran tahun 1900 - 1922

Perintisan kembali apa yang telah dilakukan Sir. Thomas Stamford Raffles oleh Belanda menandai awal penjajahan Belanda terhada Padangsche Bovenlanden, (Dataran Tinggi Padang - Pedalaman Minangkabau), yang mana sebelum masa interregnum mereka hanya berkuasa di pesisir, di Kota Padang, Pariaman, Tiku, dan Pasaman, bersaing dengan bandar-bandar dagang lokal, Aceh, Cina, Arab, Gujarat, dan Amerika. Dengan awal masa ini mereka telah masuk kepada sebuah tataran berperang dengan Kaum Paderi sebagai bantuan terhadap Kaum Adat yang telah menjanjikan tanah dan konsesi-konsesi lainnya. Mereka mempersiapkan sarana dan prasarana, jalan dan jembatan untuk menguasai kantong-kantong pertanian, ekonomi dan sosial yang telah direbut oleh Kaum Paderi dari Kaum Adat di masa sebelumnya.

Foto hulu Batang Ombilin, koleksi TROPENMUSEUM, Belanda, diperkirakan berasal dari kisaran tahun 1900 - 1922

Dengan perkembangan campur tangan Belanda di Padangsche Bovenlanden, (Dataran Tinggi Padang - Pedalaman Minangkabau) ini, dimulai di tahun 1883 hingga 1870 Belanda mengembangkan jalur-jalur transportasi dan fasilitas-fasilitas pendukung untuk mobilasisi milter dan menghubungkan sentra-sentra ekonomi pertanian. Jalur-jalur ini menutupi jalur-jalur transportasi yang pernah dikembangkan oleh Kaum Paderi sebelumnya. Jalur-jalur Belanda inilah yang masih digunakan hingga saat sekarang sebagai jalur transportasi utama di Sumatera Barat.

Ombilin-rivier-Padangsche-Bovenlanden-Tropenmuseum-13-Juli1900.jpg

Sebuah kesempatan lain yang dimanfaatkan Belanda di dalam periode intervensi mereka ke Padangsche Bovenlanden, (Dataran Tinggi Padang - Pedalaman Minangkabau) adalah menindak-lanjuti dugaan keberadaan Batu Bara di sepanjang daerah aliran Batang Ombilin, yang terpusat di Sawah Lunto dimana bekas bekas tambang ini masih dapat terlihat hingga saat ini. Adalah Ir. C. De Groot di tahun 1858 yang dilanjutkan oleh William Hendrick De Greeve membawa data explorasi-nya ke Jawa di tahun 1870 dan melaporkan bahwa tersedia 200.000.000 ton cadangan batu bara di daerah aliran Batang Ombilin (Sawah Lunto). Dimulai lah pengembangan jalur kereta api dengan adanya temuan ini.

Mengenang masa lalu atau terikat dengan masa lalu?

Pertanyaan itu lah yang membuat saya mencoba merenung-renung dengan menyusun mosaik-mosaik kenangan pribadi, memadukan dengan rujukan-rujukan umum tentang Batang Ombilin yang tidak banyak tersedia, mengamati langsung Batang Ombilin saat sekarang walau hanya sanggup saya lakukan untuk bentangan area di dekat-dekat kampung halaman saya, dan membuat beberapa foto aktual sebagai pengayaan.

Kurang lebih 3/4 bentangan lebar Pulau Sumatera bagian tengah yang dilintasi oleh Batang Ombilin. Dimulai dari Simawang dan Balimbiang yang termasuk ke dalam Kabupaten Tanah Datar, X Koto Diateh (Kabupaten Solok) dan kembali memasuki Kabupaten Tanah Datar di Padang Gantiang, terus mengilir ke timur menuju Kabupaten Sawah Lunto melalui Talawi Mudiak, Kolok Nan Tuo - Baringin, Sijantang Koto - Talawi, Talawi Hilir, Tanjung Batu, Salak, Rantih, dan mulai memasuki Kabupaten Sijunjuang melewati Pamuatan - Kupitan, Ampek Nagari, Muaro Bodi - Ampek Nagari, Limo Koto - Koto Tujuah, Padang Laweh - Koto Tujuah, Tanjuang - Koto Tujuah, Guguak - Koto Tujuah, Pamatang Panjang, Muaro, Muaro Silokek, Paru, Durian Gadang, Padang Tarok - Kamang Baru. Penyebutan Batang Ombilin mulai diganti dengan Sungai Indragiri atau Batang Kuantan saat memasuki daerah administrasi Riau. Terusan aliran Batang Ombilin di daerah Riau dimulai dari Hulu Kuantan, Kuantan Mudik, Kuantan Sengingi, Kuantan Tengah, Benai, Pangean, Kuantan Hilir, Inuman, Cerenti, Peranap, Rakit Kulim, Kelayang, Pasir Beringin, Sungai Lala, Pasir Penyu, Lirik, Rengat, Kuala Cenaku, Kempes, Teluk Kiambang, Indragiri Hilir, Tembilahan, Kuala Indragiri, dan berakhir di laut Cina Selatan.

Bentangan Batang Ombilin memotong 3/4 Pulau Sumatera (Google Earth)
Bentangan Batang Ombilin memotong 3/4 Pulau Sumatera (Google Earth)

Bila dihubungkan aliran Batang Ombilin dengan kronologis sejarah negara dan kerajaan yang pernah ada dan berdiri di Sumatera (merujuk kepada peta kronologis interkatif oleh Muhamad Lazuardi), daerah-daerah yang dialiri oleh Batang Ombilin merupakan aliran lintas perkembangan pengaruh dan budaya dari Kerajaan Pagaruyuang (Kerajaan Pagaruyuang di era setelah pengaruh Majapahit berakhir di Sumatera Barat). Dimulai di tahun 1414 Masehi pengaruh Kerajaan Pagaruyuang menyebar hingga ke pesisir timur Sumatera, hingga ke Tembilahan - Indragiri. Dari sisi pandang budaya Minangkabau daerah-daerah aliran Batang Ombilin hingga pesisir timur Sumatera disebut Daerah Rantau. Pengaruh ini diambil alih oleh Kerajaan Melaka di 1459 Masehi. Dan di masa kini masih dapat ditemukan akulturasi budaya dari dua kerajaan yang pernah mempengaruhi daerah-daerah yang dialiri Batang Ombilin ini, yaitu percampuran budaya Minangkabau dan Melayu. Akulturasi budaya ini masih dapat ditemukan berupa percampuran logat dan dialek bahasa, juga sistem kekerabatan yang merujuk kepada pihak perempuan (matrilineal ala Minangkabau) di sebagian daerah dan sistem kekerabatan yang merujuk kepada pihak laki-laki (patrilineal ala Melayu) di sebagian daerah lainnya.

Kronologis sejarah negara dan kerajaan yang pernah ada dan berdiri di Sumatera (peta kronologis interkatif oleh Muhamad Lazuardi)

Kronologis sejarah negara dan kerajaan yang pernah ada dan berdiri di Sumatera (peta kronologis interkatif oleh Muhamad Lazuardi)

Di masa kini, sebagai seorang putera asli dari hulu Batang Ombilin yang lebih banyak menghabiskan masa hidup di rantau, di negeri-negeri seberang, tentu saja sesekali berada kembali di tengah-tengah lingkungan yang membesarkan dan membentuk karakter, banyak ide dan pikiran perubahan terhadap Batang Ombilin yang terlintas. Juga terbersit dalam pikiran untuk melanjutkan penelusuran pribadi yang lebih jauh, lebih dari sekedar berbaur dan bertegur-sapa dengan mereka-mereka yang mudah untuk diakrabi karena kami bertetangga-kampung. Ingin rasanya menelusuri lebih jauh melihat apa yang terjadi dan bagaimana bisa dapat terjadi segala sesuatu itu di sekitar Batang Ombilin.

Kincir Air, sebagai salah satu teknologi tradisional khas masyarakat agraris di Nusantara, masih banyak terdapat di sepanjang Batang Ombilin. Dengan mudah air dari aliran sungai dinaikan dengan menggunakan kincir air ini untuk mengaliri bidang-bidang sawah yang masih banyak terdapat di sepanjang tepian Batang Ombilin. Sebagai perkembangan terakhir, di tepian Batang Ombilin di bagian Jorong Padang Data, Kenagarian Simawang, prinsip menaikan air aliran sungai dengan kincir air ini dikembangkan lebih lanjut untuk memasok air bersih ke pemukiman yang berada di sekitaran elevasi 300 meter dari permukaan air sungai. Tiga kincir air berukuran sangat besar dibandingkan dengan yang digunakan untuk menaikan air sungai ke sawah-sawah dibangun oleh Keluarga Besar Bapak Kamal di Padang Data, sebuah keluarga besar yang telah berhasil di rantau. Dan latahnya, area tiga kincir air besar ini menjadi daya tarik banyak pengunjung yang diikuti dengan berkembangnya area tersebut menjadi objek kunjungan wisata bagi masyarakat lokal dan nasional. Hingga beberapa stasiun TV nasional pun melakukan liputan untuk bagian featuring mereka di lokasi tiga kincir air besar ini. Sebuah perkembangan yang tidak terduga-duga terjadi begitu saja dan sangat mewakili asumsi Penulis bahwa banyak hal yang akan terjadi di sepanjang aliran Batang Ombilin karena banyak sekali potensi "ramah lingkungan” yang dapat dioptimalkan di sepanjang aliran Batang Ombilin.

Tiga Kincir Air Raksasa di Padang Data
Paman (Mak) Ali, juru rawat Tiga Kincir Air Raksasa di Padang Data

Entah apa lagi yang akan muncul di sepanjang tepian Batang Ombilin? Mungkin saja tidak akan lama lagi di Batang Ombilin akan muncul sentra arung jeram, atau penangkaran bunga anggrek, atau resort dan camping area, atau villa-villa yang menjual hak view, suasana dan kulinernya, atau Batang Ombilin tiba-tiba saja sudah mewujud menjadi semacam Batang Ombilin Eco-Park seperti area-area “ramah lingkungan” lainnya yang dikelola secara profesional. Entah apa lah itu transformasi Batang Ombilin, Penulis memiliki sebuah imaginasi pribadi bahwa di sepanjang aliran Batang Ombilin tersedia ruang publik yang terintegrasi dengan alam yang terjaga dengan baik kealamiannya. Penulis membayangkan di sepanjang aliran Batang Ombilin terdapat track bagi mereka untuk bersepeda, hiking, lokasi bagi mereka untuk memancing, terdapat bungalow-bungalow bagi mereka untuk berkumpul dan menikmati suasana. Ruang publik ini didukung dengan sistem kebersihan dan ketertiban yang mumpuni. Pengelolaan ruang publik dengan ruang bisnis ekonomi pun terpisah dan tertata dengan baik. Di lingkar luar dari aliran Batang Ombilin pun terdapat jalur-jalur transportasi umum yang dapat mendukung pengunjung untuk datang dan pergi. Semua ketertataan ini pada akhirnya akan mewujud kepada pemasukan pemerintah daerah dan juga mendukung perekonomian masyarakat lokal di sepanjang aliran Batang Ombilin.

Pemandangan Batang Ombilin di salah satu sisi di perbatasan Padang Data - Boduih

Huuuuuaaaah……. itu semua hanya sebuah “utopia” yang ada di mata hati dan kepala Penulis.

Batang Ombilin di sebuah jembatan gantung sederhana di Somek

Yang jelas, di masa kini, di sepanjang aliran Batang Ombilin di bagian Kenagarian Simawang (Ombilin, Angga Rayo, Somek, Padang Data, Boduih), sebagai bagian hulu dari aliran sungai, Penulis masih banyak mengamati masyarakat lokal, terutama kaum perempuannya mencari dan mengumpulkan “pensi”, semacam kerang air tawar berukuran kecil yang daging isinya diolah menjadi masakan berupa rendang, sup, digoreng balado, bahkan diolah menjadi “pengek”. Kandungan gizi dari kerang air tawar ini pun tinggi dan menyehatkan. Selain itu, Penulis pun mengamati bahwa kelanjutan dari usaha mencari dan mengumpulkan “pensi” dari penduduk lokal ini berlanjut kepada memanfaatkan kulit kerang air tawar tersebut menjadi “sadah” yaitu bahan kapur yang dihasilkan dari pembakaran kulit “pensi” dengan proses sedemikian rupa. Kegiatan ini pun sudah lama berlangsung terutama bagi masyarakat lokal yang berada di Somek, Kenagarian Simawang. “Sadah” sebagai hasil pembakaran kulit “pensi” tadi akan dijual untuk kebutuhan industri terutama sebagai bahan pengawet alami. Untuk ikan, Penulis mengamati bahwa budaya membudi-dayakan ikan belum lah merambah secara sporadis di sepanjang aliran Batang Ombilin. Itu juga yang seharusnya dilakukan di seluruh area Danau Singkarak. Perihal budi-daya ini seharusnya tidak dilakukan di seluruh permukaan danau atau aliran sungai dikarenakan ikan-ikan tersebut tumbuh berkembang secara endemik.

Seorang gadis remaja memanfaatkan waktu luang untuk mencari "pensi", kerang air tawar khas Batang Ombilin
Menyelam dan mengumpukan "pensi" kerang air tawar khas Batang Ombilin
Sebuah pondok pembakaran kulit "pensi" untuk dijadikan "sadah" di Somek

Dengan hanya satu paragraf yang mampu Penulis kembangkan untuk menguraikan sosio - ekonomi masyarakat lokal di sepanjang aliran Batang Ombilin, dimulai dari Ombilin sebagai hulunya hingga Boduih, terasa sekali masih pendek jengkal tepian Batang Ombilin yang teramati oleh Penulis. Entah apa pula yang ada dan terjadi di Tanjung Emas dan Saruaso sana. Apakah benar ada mereka mencari butir emas di aliran Batang Ombilin di Talawi dan Muaro Sijunjuang sana? Atau mereka “mendompeng”, menambang emas di tengah-tengah aliran Batang Kuantan di Taluak Kuantan, Benai, Pangean dan Rengat sana? Yang pasti, walaupun Penulis belum melihat secara langsung, mereka telah menghabiskan 200.000.000 ton kandungan batu bara di Sawah Lunto sana. Danau Kandis sudah lama menjadi saksinya.


Recent Posts
Archive
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page